Masyarakat Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak kebudayaan, serta memiliki wilayah yang sangat luas. Wilayah yang luas tersebut menyebabkan interaksi dan integrasi ekonomi sulit merata, sehingga terdapat tumpang tindih kesejahteraan masyarakat. Ini sangat rentan sebagai awal rasa ketidakpuasan yang berpotensi menjadi konflik. Kondisi tersebut di atas dilengkapi pula dengan sistem pemerintahan yang kurang memperhatikan pembangunan kemanusiaan para era terdahulu, kebijakan Negara Indonesia didominasi oleh kepentingan ekonomi dan stabilitas nasional. Sektor pendidikan politik dan pembinaan bangsa kurang mendapat perhatian. Perbedaan suku, agama, RAS, dan antargolongan (SARA) sebagai kondisi nyata yang diwarisi turun temurun, yang merupakan unsur-unsur kekayaan yang mewarnai khasanah budaya bangsa, menjadi momok yang menakutkan, sekaligus ancaman potensial bagi eksistensi bangsa dan menipisnya rasa nasionalisme.
Menurut Thomas Lickona (1992), ada sepuluh tanda dari perilaku manusia yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa, yaitu: 1) Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, 2) Ketidakjujuran yang membudaya, 3) Semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orangtua, guru dan pemimpin, 4) Pengaruh peer group terhadap tindak kekerasan, 5) Meningkatnya kecurigaan dan kebencian, 6) Penggunaan bahasa yang memburuk, 7) Penurunan etos kerja, 8) Menurunnya rasa tanggung jawab sosial individu dan warga negara, 9) Meningginya perilaku merusak diri, 10) Semakin hilangnya pedoman moral. Dari sepuluh yang disebutkan diatas, sebenarnya sudah terlihat dan terjadi di Indonesia. Misalnya saja perkelahian pelajar dan mahasiswa; masih banyak orangtua, guru dan para pemimpin yang melakukan tindakan tidak terpuji dan menghilangkan rasa hormat anak pada mereka dan masih banyak lagi masalah yang terjadi di negara ini
Haviland mengatakan bahwa multikultural dapat diartikan sebagai pluralitas kebudayaan dan agama Memelihara pluralitas akan tercapai kehidupan yang ramah dan menciptakan kedamaian. Pluralitas kebudayaan adalah interaksi sosial dan politik antara orang-orang yang berbeda cara hidup dan berpikirnya dalam suatu masyarakat. Secara ideal, pluralisme kebudayaan multikulturalisme berarti penolakan terhadap kefanatikan, purbasangka, rasialisme, tribalisme, dan menerima secara inklusif keanekaragaman yang ada (Haviland, 1988). Sehingga menurut penulis peran pemuda sangatlah besar dalam hal ini, pemuda harus menjadi agen dalam hal ini. Tetapi walaupun ini dianggap sebuah hal yang tidak berlebihan tetapi, sebagai manusia sosial juga harus bisa saling menghargai sesama.
Pendidikan multikulturalisme harus diterapkan dalam proses pembelajaran melalui proses pembiasaan, pembelajaran multikultural dilakukan dengan pembentukan pola pikir, sikap, tindakan, dan pembiasaan sehingga muncul kesadaran nasional keindonesiaan. Karakter keindonesiaan tersebut meliputi: kesadaran kebanggaan sebagai bangsa, kemandirian dan keberanian sebagai bangsa, kesadaran kehormatan sebagai bangsa, kesadaran melawan penjajahan, kesadaran berkorban demi bangsa, kesadaran nasionalisme bangsa lain, dan kesadaran kedaerahan menuju kebangsaan. Terwujudnya karakter keindonesiaan tersebut menjadi landasan kuat sebagai ciri khas manusia Indonesia yang kuat. Kekuatan keindonesiaan ini menjadi energi besar untuk menjadi Indonesia sebagai bangsa besar di tengah percaturan bangsa-bangsa di dunia. Bangsa besar hanya dapat diwujudkan melalui karakter manusia yang kuat. Karakter keindonesiaan melalui pendidikan multikulturalisme inilah salah satu harapan menuju Indonesia besar di masa depan.
Penulis : Deni Sadly
Leave a Reply